Sunday, February 8, 2009

Halal-Haram

Menentukan Halal-Haram Semata-Mata Hak Allah

DASAR kedua: Bahwa Islam telah memberikan suatu batas wewenang untuk menentukan halal dan haram, yaitu dengan melepaskan hak tersebut dari tangan manusia, betapapun tingginya kedudukan manusia tersebut dalam bidang agama maupun duniawinya. Hak tersebut semata-mata ditangan Allah.

Bukan pastor, bukan pendeta, bukan raja dan bukan sultan yang berhak menentukan halal-haram. Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah melanggar batas dan menentang hak Allah dalam menetapkan perundang-undangan untuk ummat manusia. Dan barangsiapa yang menerima serta mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah menjadikan mereka itu sebagai sekutu Allah, sedang pengikutnya disebut "musyrik".

Firman Allah:

"Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan Allah?" (as-Syura: 21)

Al-Quran telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah memberikan kekuasaan kepada para pastor dan pendeta untuk menetapkan halal dan haram, dengan firmannya sebagai berikut:

"Mereka itu telah menjadikan para pastor dan pendetanya sebagai tuhan selain Allah; dan begitu juga Isa bin Maryam (telah dituhankan), padahal mereka tidak diperintah melainkan supaya hanya berbakti kepada Allah Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan." (at-Taubah: 31)

'Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah --pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam-- setelah dia mendengar ayat tersebut, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu.

Maka jawab Nabi s.a.w.:

"Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka." (Riwayat Tarmizi)

"Memang mereka (ahli kitab) itu tidak menyernbah pendeta dan pastor, tetapi apabila pendeta dan pastor itu menghalalkan sesuatu, mereka pun ikut menghalalkan juga; dan apabila pendeta dan pastor itu mengharamkan sesuatu, mereka pun ikut mengharamkan juga."

Orang-orang Nasrani tetap beranggapan, bahwa Isa al-Masih telah memberikan kepada murid-muridnya --ketika beliau naik ke langit-- suatu penyerahan (mandat) untuk menetapkan halal dan haram dengan sesuka hatinya. Hal ini tersebut dalam Injil Matius 18:18 yang berbunyi sebagai berikut: "Sesungguhnya aku berkata kepadamu, barang apa yang kamu ikat di atas bumi, itulah terikat kelak di sorga; dan barang apa yang kamu lepas di atas bumi, itupun terlepas kelak di sorga."

Al-Quran telah mengecap juga kepada orang-orang musyrik yang berani mengharamkan dan menghalalkan tanpa izin Allah, dengan kata-katanya sebagai berikut:

"Katakanlah! Apakah kamu menyetahui apa-apa yang Allah telah turunkan untuk kamu daripada rezeki, kemudian dijadikan sebagian daripadanya itu, haram dan halal; katakanlah apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah memang kamu hendak berdusta atas (nama) Allah?"(Yunus: 59)

Dan firman Allah juga:

"Dan jangan kamu berani mengatakan terhadap apa yang dikatakan oleh lidah-lidah kamu dengan dusta; bahwa ini halal dan ini haram, supaya kamu berbuat dusta atas (nama) Allah, sesungguhnya orang-orang yang berani berbuat dusta atas (nama) Allah tidak akan dapat bahagia." (an-Nahl: 116)

Dari beberapa ayat dan Hadis seperti yang tersebut di atas, para ahli fiqih mengetahui dengan pasti, bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan halal dan haram, baik dalam kitabNya (al-Quran) ataupun melalui lidah RasulNya (Sunnah). Tugas mereka tidak lebih, hanya menerangkan hukum Allah tentang halal dan haram itu. Seperti firmanNya:

"Sungguh Allah telah menerangkan kepada kamu apa yang Ia haramkan atas kamu." (al-An'am: 119)

Para ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang menetapkan hukum syara' ini boleh dan ini tidak boleh. Mereka, dalam kedudukannya sebagai imam ataupun mujtahid, pada menghindar dari fatwa, satu sama lain berusaha untuk tidak jatuh kepada kesalahan dalam menentukan halal dan haram (mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram).

Imam Syafi'i dalam al-Um5 meriwayatkan, bahwa Qadhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah pernah mengatakan: "Saya jumpai guru-guru kami dari para ahli ilmu, bahwa mereka itu tidak suka berfatwa, sehingga mengatakan: ini halal dan ini haram, kecuali menurut apa yang terdapat dalam al-Quran dengan tegas tanpa memerlukan tafsiran.

Kata Imam Syafi'i selanjutnya, Ibnu Saib menceriterakan kepadaku dari ar-Rabi' bin Khaitsam --dia termasuk salah seorang tabi'in yang besar-- dia pernah berkata sebagai berikut: "Hati-hatilah kamu terhadap seorang laki-laki yang berkata: Sesungguhnya Allah telah menghalalkan ini atau meridhainya, kemudian Allah berkata kepadanya: Aku tidak menghalalkan ini dan tidak meridhainya. Atau dia juga berkata: Sesungguhnya Allah mengharamkan ini kemudian Allah akan berkata: "Dusta engkau, Aku samasekali tidak pernah mengharamkan dan tidak melarang dia."

Imam Syafi'i juga pernah berkata: Sebagian kawan-kawanku pernah menceriterakan dari Ibrahim an-Nakha'i --salah seorang ahli fiqih golongan tabi'in dari Kufah-- dia pernah menceriterakan tentang kawan-kawannya, bahwa mereka itu apabila berfatwa tentang sesuatu atau melarang sesuatu, mereka berkata: Ini makruh, dan ini tidak apa-apa. Adapun yang kalau kita katakan: Ini adalah halal dan ini haram, betapakah besarnya persoalan ini!

Demikianlah apa yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dari salafus saleh yang kemudian diambil juga oleh Imam Syafi'i dan diakuinya juga. Hal ini sama juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Muflih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: "Bahwa ulama-ulama salaf dulu tidak mau mengatakan haram, kecuali setelah diketahuinya dengan pasti."

Kami dapati juga imam Ahmad, misalnya, kalau beliau ditanya tentang sesuatu persoalan, maka ia menjawab: Aku tidak menyukainya, atau hal itu tidak menyenangkan aku, atau saya tidak senang atau saya tidak menganggap dia itu baik.

Cara seperti ini dilakukan juga oleh imam-imam yang lain seperti Imam Malik, Abu Hanifah dan lain-lain.

Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram Sama dengan Syirik

KALAU Islam mencela sikap orang-orang yang suka menentukan haram dan halal itu semua, maka dia juga telah memberikan suatu kekhususan kepada mereka yang suka mengharamkan itu dengan suatu beban yang sangat berat, karena memandang, bahwa hal ini akan merupakan suatu pengungkungan dan penyempitan bagi manusia terhadap sesuatu yang sebenarnya oleh Allah diberi keleluasaan. Di samping hal tersebut memang karena ada beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh sementara ahli agama yang berlebihan.

Nabi Muhammad sendiri telah berusaha untuk memberantas perasaan berlebihan ini dengan segala senjata yang mungkin. Di antaranya ialah dengan mencela dan melaknat orang-orang yang suka berlebih-lebihan tersebut, yaitu sebagaimana sabdanya:

"Ingatlah! Mudah-mudahan binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan itu." (3 kali). (Riwayat Muslim dan lain-lain)

Dan tentang sifat risalahnya itu beliau tegaskan:

"Saya diutus dengan membawa suatu agama yang toleran." (Riwayat Ahmad)

Yakni suatu agama yang teguh dalam beraqidah dan tauhid, serta toleran (lapang) dalam hal pekerjaan dan perundang-undangan. Lawan daripada dua sifat ini ialah syirik dan mengharamkan yang halal. Kedua sifat yang akhir ini oleh Rasulullah s.a.w. dalam Hadis Qudsinya dikatakan, firman Allah:

"Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya." (Riwayat Muslim)

Oleh karena itu, mengharamkan sesuatu yang halal dapat dipersamakan dengan syirik. Dan justeru itu pula al-Quran menentang keras terhadap sikap orang-orang musyrik Arab terhadap sekutu-sekutu dan berhala mereka, dan tentang sikap mereka yang berani mengharamkan atas diri mereka terhadap makanan dan binatang yang baik-baik, padahal Allah tidak mengizinkannya. Diantaranya mereka telah mengharamkan bahirah (unta betina yang sudah melahirkan anak kelima), saibah (unta betina yang dinazarkan untuk berhala), washilah (kambing yang telah beranak tujuh) dan ham (Unta yang sudah membuntingi sepuluh kali; untuk ini dikhususkan buat berhala).

Orang-orang Arab di zaman Jahiliah beranggapan, kalau seekor unta betina beranak sudah lima kali sedang anak yang kelima itu jantan, maka unta tersebut kemudian telinganya dibelah dan tidak boleh dinaiki. Mereka peruntukkan buat berhalanya. Karena itu tidak dipotong, tidak dibebani muatan dan tidak dipakai untuk menarik air. Mereka namakan unta tersebut al-Bahirah yakni unta yang dibelah telinganya.

Dan kalau ada seseorang datang dari bepergian, atau sembuh dari sakit dan sebagainya dia juga memberikan tanda kepada seekor untanya persis seperti apa yang diperbuat terhadap bahirah itu. Unta tersebut mereka namakan saibah.

Kemudian kalau ada seekor kambing melahirkan anak betina, maka anaknya itu untuk yang mempunyai; tetapi kalau anaknya itu jantan, diperuntukkan buat berhalanya. Dan jika melahirkan anak jantan dan betina, maka mereka katakan: Dia telah sampai kepada saudaranya; oleh karena itu yang jantan tidak disembelih karena diperuntukkan buat berhalanya. Kambing seperti ini disebut washilah.

Dan jika seekor binatang telah membuntingi anak-anaknya, maka mereka katakan: Dia sudah dapat melindungi punggungnya. Yakni binatang tersebut tidak dinaiki, tidak dibebani muatan dan sebagainya. Binatang seperti ini disebut al-Haami.

Penafsiran dan penjelasan terhadap keempat macam binatang ini banyak sekali, juga berkisar dalam masalah tersebut

Al-Quran bersikap keras terhadap sikap pengharaman ini, dan tidak menganggap sebagai suatu alasan karena taqlid kepada nenek-moyangnya dalam kesesatan ini. Firman Allah:

"Allah tidak menjadikan (mengharamkan) bahirah, saibah, washilah dan ham, tetapi orang-orang kafirlah yang berbuat dusta atas (nama) Allah, dan kebanyakan mereka itu tidak mau berfikir. Dan apabila dikatakan kepada mereka: Mari kepada apa yang telah diturunkan Allah dan kepada Rasul, maka mereka menjawab: Kami cukup menirukan apa yang kami jumpai pada nenek-nenek moyang kami; apakah (mereka tetap akan mengikutinya) sekalipun nenek-nenek moyangnya itu tidak berpengetahuan sedikitpun dan tidak terpimpin?" (al-Maidah : 103-104)

Dalam surah al-An'am ada semacam munaqasyah (diskusi) mendetail terhadap prasangka mereka yang telah mengharamkan beberapa binatang, seperti: unta, sapi, kambing biri-biri dan kambing kacangan.

Al-Quran membawakan diskusi tersebut dengan suatu gaya bahasa yang cukup dapat mematikan, akan tetapi dapat membangkitkan juga.

Kata al-Quran:

"Ada delapan macam binatang; dari kambing biri-biri ada dua, dan dari kambing kacangan ada dua pula; katakanlah (Muhammad): Apakah kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, atau kedua-duanya yang betina ataukah semua yang dikandung dalam kandungan yang betina kedua-duanya? (Cobalah) beri penjelasan aku dengan suatu dalil, jika kamu orang-orang yang benar! Begitu juga dari unta ada dua macam,- dan dari sapi ada dua macam juga; katakanlah (Muhammad!) apakah kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, ataukah kedua-duanya yang betina?" (al-An'am: 143-144)

Di surah al-A'raf pun ada juga munaqasyah tersebut dengan suatu penegasan keingkaran Allah terhadap orang-orang yang suka mengharamkan dengan semaunya sendiri itu; di samping Allah menjelaskan juga beberapa pokok binatang yang diharamkan untuk selamanya. Ayat itu berbunyi sebagai berikut:

"Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui." (al-A'raf: 32-33)

Seluruh munaqasyah ini terdapat pada surah-surah Makiyyah yang diturunkan demi mengkukuhkan aqidah dan tauhid serta ketentuan di akhirat kelak. Ini membuktikan, bahwa persoalan tersebut, dalam pandangan al-Quran, bukan termasuk dalam kategori cabang atau bagian, tetapi termasuk masalah-masalah pokok dan kulli.

Di Madinah timbul di kalangan pribadi-pribadi kaum muslimin ada orang-orang yang cenderung untuk berbuat keterlaluan, melebih-lebihkan dan mengharamkan dirinya dalam hal-hal yang baik. Untuk itulah maka Allah menurunkan ayat-ayat muhkamah (hukum) untuk menegakkan mereka dalam batas-batas ketentuan Allah dan mengernbalikan mereka ke jalan yang lempang.

Di antara ayat-ayat itu berbunyi sebagai berikut:

"Hai orang-orang yang beriman: Janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik (dari) apa yang Allah telah halalkan buat kamu, dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang suka melewati batas. Dan makanlah sebagian rezeki yang Allah berikan kepadamu dengan halal dan baik, dan takutlah kamu kepada Allah zat yang kamu beriman dengannya." (al-Maidah: 87-88)


Mengharamkan yang Halal akan Berakibat Timbulnya Kejahatan dan Bahaya

DI ANTARA hak Allah sebagai Zat yang menciptakan manusia dan pemberi nikmat yang tiada terhitung banyaknya itu, ialah menentukan halal dan haram dengan sesukanya, sebagaimana Dia juga berhak menentukan perintah-perintah dan syi'ar-syi'ar ibadah dengan sesukanya. Sedang buat manusia sedikitpun tidak ada hak untuk berpaling dan melanggar.

Ini semua adalah hak Ketuhanan dan suatu kepastian persembahan yang harus mereka lakukan untuk berbakti kepadaNya. Namun, Allah juga berbelas-kasih kepada hambaNya. Oleh karena itu dalam Ia menentukan halal dan haram dengan alasan yang ma'qul (rasional) demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Justeru itu pula Allah tidak akan menghalalkan sesuatu kecuali yang baik, dan tidak akan mengharamkan sesuatu kecuali yang jelek.

Benar! Bahwa Allah pernah juga mengharamkan hal-hal yang baik kepada orang-orang Yahudi. Tetapi semua itu merupakan hukuman kepada mereka atas kedurhakaan yang mereka perbuat dan pelanggarannya terhadap larangan Allah. Hai ini telah dijelaskan sendiri oleh Allah dalam firman Nya:

"Dan kepada orang-orang Yahudi kami haramkan semua binatang yang berkuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan lemak-lemaknya, atau (lemak) yang terdapat di punggungnya, atau yang terdapat dalam perut, atau yang tercampur dengan tulang. Yang demikian itu kami (sengaja) hukum mereka lantaran kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya kami adalah (di pihak) yang benar." (al-An'am: 146)

Di antara bentuk kedurhakaannya itu telah dijelaskan Allah dalam surah lain, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

"Sebab kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu, maka kami haramkan atas mereka (makanan-makanan) yang baik yang tadinya telah dihalalkan untuk mereka; dan sebab gangguan mereka terhadap agama Allah dengan banyak; dan sebab mereka memakan harta riba padahal telah dilarangnya; dan sebab mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil." (an-Nisa': 160-161)

Setelah Allah mengutus Nabi Muhammad, sebagai Nabi terakhir dengan membawa agama yang universal dan abadi, maka salah satu di antara rahmat kasih Allah kepada manusia, sesudah manusia itu matang dan dewasa berfikir, dihapusnya beban haram yang pernah diberikan Allah sebagai hukuman sementara yang bermotif mendidik itu, di mana beban tersebut cukup berat dan menegangkan leher masyarakat.

Kerasulan Nabi Muhammad ini telah disebutkan dalam Taurat, dan namanya pun sudah dikenal oleh ahli-ahli kitab, yaitu seperti yang disebutkan dalam al-Quran:

"Mereka (ahli kitab) itu mengetahui dia (nama Muhammad) tertulis di sisi mereka dalam Taurat dan Injil --dengan tugas-- untuk mengajak kepada kebajikan dan melarang daripada kemungkaran, dan menghalalkan kepada mereka yang baik-baik, dan mengharamkan atas mereka yang tidak baik, serta mencabut dari mereka beban mereka dan belenggu yang ada pada mereka." (al-A'raf: 157)

Di dalam Islam caranya Allah menutupi kesalahan, bukan dengan mengharamkan barang-barang baik yang lain, tetapi ada beberapa hal yang di antaranya ialah:

  1. Taubat dengan ikhlas (taubatan nasuha). Taubat ini dapat menghapuskan dosa bagaikan air jernih yang dapat menghilangkan kotoran.
  2. Dengan mengerjakan amalan-amalan yang baik, karena amalan-amalan yang baik itu dapat menghilangkan kejelekan.
  3. Dengan bersedekah (shadaqah) karena shadaqah itu dapat menghapus dosa, bagaikan air yang dapat memadamkan api.
  4. Dengan ditimpa oleh beberapa musibah dan percobaan, dimana musibah dan percobaan itu dapat meleburkan kesalahan-kesalahan, bagaikan daun pohon kalau sudah kering akan menjadi hancur.

Dengan demikian, maka dalan Islam dikenal, bahwa mengharamkan sesuatu yang halal itu dapat membawa satu keburukan dan bahaya. Sedang seluruh bentuk bahaya adalah hukumnya haram. Sebaliknya yang bermanfaat hukumnya halal. Kalau suatu persoalan bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, maka hal tersebut hukumnya haram. Sebaliknya, kalau manfaatnya lebih besar, maka hukumnya menjadi halal.

Kaidah ini diperjelas sendiri oleh al-Quran, misalnya tentang arak, Allah berfirman:

"Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang hukumnya arak dan berjudi, maka jawablah: bahwa keduanya itu ada suatu dosa yang besar, di samping dia juga bermanfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya." (al-Baqarah: 219)

Dan begitu juga suatu jawaban yang tegas dari Allah ketika Nabi Muhammad ditanya tentang masalah halal dalam Islam. Jawabannya singkat Thayyibaat (yang baik-baik). Yakni segala sesuatu yang oleh jiwa normal dianggapnya baik dan layak untuk dipakai di masyarakat yang bukan timbul karena pengaruh tradisi, maka hal itu dipandang thayyib (baik, bagus, halal). Begitulah seperti yang dikatakan Allah dalam al-Quran:

"Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa saja yang dihalalkan untuk mereka? Maka jawablah: semua yang baik adalah dihalalkan buat kamu." (al-Maidah: 4)

Dan firmanNya pula:

"Pada hari ini telah dihalalkan untuk kamu semua yang baik." (al-Maidah: 5)

Oleh karena itu tidak layak bagi seorang muslim yang mengetahui dengan rinci tentang apa yang disebut jelek dan bahaya yang justeru karenanya hal tersebut diharamkan Allah, kemudian kadang-kadang dia akan menyembunyikan sesuatu yang mungkin nampak pada orang lain. Sebab kadang-kadang ada juga sesuatu kejelekan yang tidak tampak pada suatu masa, tetapi di waktu lain dia akan tampak. Waktu itu setiap mu'min harus mengatakan Sami'na Wa'athanaa (kami mendengarkan dan kami mematuhi).

Tidaklah kamu mengetahui, bahwa Allah telah mengharamkan daging babi, tetapi tidak seorang Islam pun yang mengerti sebab diharamkannya daging babi itu, selain karena kotor. Tetapi kemudian dengan kemajuan zaman, ilmu pengetahuan telah menyingkapkan, bahwa di dalam daging babi itu terdapat cacing pita dan bakteri yang membunuh.

Kalau sekiranya ilmu pengetahuan tidak membuka sesuatu yang terdapat dalam daging babi itu seperti tersebut di atas atau lebih dari itu, niscaya sampai sekarang ummat Islam tetap berkeyakinan, bahwa diharamkannya daging babi itu justeru karena najis (rijsun).

Contoh lain, misalnya Hadis Nabi yang mengatakan:

"Takutlah kamu kepada tiga pelaknat (tiga perkara yang menyebabkan seseorang mendapat laknat Allah), yaitu: buang air besar (berak) di tempat mata air, di jalan besar dan di bawah pohon (yang biasa dipakai berteduh)." (Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi)

Pada abad-abad permulaan tidak seorang pun tahu selain hanya karena kotor, yang tidak dapat diterima oleh perasaan yang sehat dan kesopanan umum. Tetapi setelah ilmu pengetahuan mencapai puncak kemajuannya, maka akhirnya kita mengetahui, bahwa justeru tiga pelaknat di atas adalah memang sangat berbahaya bagi kesehatan umum. Dia merupakan pangkal berjangkitnya wabah penyakit anak-anak, seperti anchylostoma dan bilharzia.

Begitulah, setelah sinar ilmu pengetahuan itu dapat menembus dan meliputi lapangan yang sangat luas, maka kita menjadi makin jelas untuk mengetahui halal dan haram serta rahasia setiap hukum. Bagaimana tidak! Sebab dia adalah hukum yang dibuat oleh Zat yang Maha Tahu, Maha Bijaksana dan Maha Berbelas-kasih kepada hambaNya. Yaitu seperti yang difirmankan Allah dalam al-Quran:

"Allah mengetahui orang yang suka berbuat jahat dari pada orang yang berbuat baik; dan jika Allah mau, niscaya Ia akan beratkan kamu, karena sesungguhnya Allah Maha Gagah dan Maha Bijaksana." (al-Baqarah: 220)

Setiap yang Halal Tidak Memerlukan yang Haram

SALAH satu kebaikan Islam dan kemudahannya yang dibawakan untuk kepentingan ummat manusia, ialah "Islam tidak mengharamkan sesuatu kecuali di situ memberikan suatu jalan keluar yang lebih baik guna mengatasi kebutuhannya itu." Hal ini seperti apa yang diterangkan oleh Ibnul Qayim dalam A'lamul Muwaqqi'in 2: 111 dan Raudhatul Muhibbin halaman 10. Beliau mengatakan: Allah mengharamkan mereka untuk mengetahui nasib dengan membagi-bagikan daging pada azlam,8 tetapi di balik itu Ia berikan gantinya dengan doa istikharah. Allah mengharamkan mencari untung dengan menjalankan riba; tetapi di balik itu Ia berikan ganti dengan suatu perdagangan yang membawa untung. Allah mengharamkan berjudi, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa hadiah harta yang diperoleh dari berlomba memacu kuda, unta dan memanah. Allah juga mengharamkan sutera, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa aneka macam pakaian yang baik-baik, yang terbuat dari wool, kapuk dan cotton. Allah telah mengharamkan berbuat zina dan liwath, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa perkawinan yang halal. Allah mengharamkan minum minuman keras, tetapi dibalik itu Ia berikan gantinya berupa minuman yang lezat yang cukup berguna bagi rohani dan jasmani. Dan begitu juga Allah telah mengharamkan semua macam makanan yang tidak baik (khabaits), tetapi di balik itu Ia telah memberikan gantinya berupa makanan-makanan yang baik (thayyibat).

Begitulah, kalau kita ikuti dengan saksama seluruh hukum Islam ini, maka akan kita jumpai di situ, bahwa Allah s.w.t. tidak memberikan suatu kesempitan (baca haram) kepada hambanya, melainkan di situ juga dibuka suatu keleluasaan di segi lain. Karena Allah samasekali tidak menginginkan untuk mempersukar hambaNya dan membuat takut. Bahkan Ia berkehendak untuk memberikan kemudahan dan kebaikan serta betas-kasih kepada hambaNya. Sebagaimana difirmankan sendiri oleh Allah dalam al-Quran:

"Allah berkehendak akan menerangkan kepadamu dan memberikan petunjuk kepadamu tentang cara-cara (sunnah) yang dilakukan orang-orang sebelum kamu, dan Allah juga berkehendak untuk menerima taubatmu, dan Allah adalah Zat yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah berkehendak untuk menerima taubatmu, tetapi orang-orang yang mengikuti keinginan hawa nafsunya itu berkehendak untuk berpaling dengan palingan yang sangat. Allah (juga) berkehendak untuk memberikan keringanan kepadamu, sebab manusia itu dicipta dengan keadaan yang lemah." (an-Nisa': 26-27)

Apa Saja yang Membawa Kepada Haram adalah Haram

SALAH satu prinsip yang telah diakui oleh Islam, ialah: apabila Islam telah mengharamkan sesuatu, maka wasilah dan cara apapun yang dapat membawa kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram.

Oleh karena itu, kalau Islam mengharamkan zina misalnya, maka semua pendahuluannya dan apa saja yang dapat membawa kepada perbuatan itu, adalah diharamkan juga. Misalnya, dengan menunjukkan perhiasan, berdua-duaan (free love), bercampur dengan bebas, foto-foto telanjang (cabul), kesopanan yang tidak teratur (immoral), nyanyian-nyanyian yang kegila-gilaan dan lain-lain.

Dari sinilah, maka para ulama ahli fiqih membuat suatu kaidah: Apa saja yang membawa kepada perbuatan haram, maka itu adalah haram.

Kaidah ini senada dengan apa yang diakui oleh Islam; yaitu bahwa dosa perbuatan haram tidak terbatas pada pribadi si pelakunya itu sendiri secara langsung, tetapi meliputi daerah yang sangat luas sekali, termasuk semua orang yang bersekutu dengan dia baik melalui harta ataupun sikap. Masing-masing mendapat dosa sesuai dengan keterlibatannya itu. Misalnya tentang arak, Rasulullah s.a.w. melaknat kepada yang meminumnya, yang membuat (pemeras), yang membawanya, yang diberinya, yang menjualnya dan seterusnya. Nanti insya Allah akan kami sebutkan.

Begitu juga dalam soal riba, akan dilaknat orang yang memakannya, yang memberikannya, penulisnya dan saksi-saksinya.

Begitulah, maka semua yang dapat membantu kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram juga. Dan semua orang yang membantu kepada orang yang berbuat haram, maka dia akan terlibat dalam dosanya juga.


No comments:

Post a Comment